Harmoni Lebaran Adat

Harmoni Lebaran Adat

Satu malam sebelum terbit lebaran, Masjid Bayan Beleq bergempita. Para kiai adat Wetu Telu berbusana serba putih. Empat orang kiai kagungan atau ulama besar adat Sasak sedang duduk bersama 40 kiai santri. Dalam suasana takzim, mereka membaca Alquran kuno yang ditulis tangan leluhur. Masjid kuno itu sungguh bersahaja. Berdinding gedek dan berangka kayu. Ukurannya sedikit lebih luas dari lapangan bulutangkis. Selepas pembacaan ayat suci, masyarakat bergantian masuk untuk menyerahkan zakat fitrah. Rupa zakatnya bukan hanya beras atau uang, tetapi juga hasil kebun dan ternak. Pembacaan kitab suci dan penyerahan zakat fitrah ini dilakukan hingga dini hari.

Desa Bayan, tempat masjid ini berada, seolah menghuni sebuah ceruk antara lautan dan barisan bukit-bukit di kaki Rinjani. Empat kiai kagungan menjadi panutan umat penjuru desa. Mereka adalah kiai penghulu selaku imam salat, kiai ketib selaku katib, kiai lebei selaku pengumandang azan, dan kiai modim selaku marbut. Tidak semua orang diperbolehkan memasuki Masjid Bayan Beleq. Selain para kiai, hanya perwakilan masyarakat adat yang akan menyerahkan zakat yang diperbolehkan masuk. Mereka berjumlah antara tujuh sampai sepuluh orang. Mereka bertelanjang dada dengan kepala berikatkan sapuk. Busana bawahnya berupa londong abang atau kain tenun dengan warna dasar merah muda, yang dipadukan dengan rejasa atau ikat pinggang berupa kain tenun panjang berwarna merah kecokelatan dengan dekorasi geometris berwarna putih kelabu. Sekilas busana adat mereka mirip dengan busana adat Bali. Mereka bertelanjang dada dan tidak diperbolehkan menggunakan kain yang dijahit—termasuk celana dalam! Malam itu saya beruntung karena pemuka adat mengizinkan saya untuk memasuki masjid dan mengikuti prosesinya. Gayung bersambut, seorang warga bersedia meminjamkan busana bawahan adat Sasak kepada saya. Sebelum mengabadikan upacara, seorang pemangku adat pun mengoleskan semacam ramuan kunyit pada dahi saya. Layaknya warga, saya pun berbusana adat serupa. Angin malam mengembus dari lereng Gunung Rinjani. Suhu malam itu memang sungguh dingin. Saya pun menggigil— lantaran bertelanjang dada dan cuma mengenakan kain tanpa “pertahanan berlapis di dalamnya”. Setelan ini mengingatkan saya pada busana ihram, busana wajib saat berhaji. Kendati kedinginan, saya bertahan mengikuti prosesinya hingga selesai pada dini hari, tanpa masuk angin.

Esok harinya, mereka menggelar perayaan Idulfitri secara adat. Sama seperti lebaran umumnya, mereka menegakkan salat Idulfitri. Namun, imam dan jamaahnya hanya para kyai adat yang berjumlah 44 orang. Warga menyebut tradisi ini ngiring sareat lebaran tinggi—atau upacara adat yang mengiringi dan memperkuat perayaan Idulfitri. Tujuannya, menciptakan harmonisasi antara adat dan agama. Biasanya warga menunggu di luar masjid hingga salat selesai. Selanjutnya, mereka bersalaman dengan para kiai. Sejatinya, perayaan Idulfitri secara agama telah digelar empat hari sebelum Idulfitri adat, sehingga mereka tetap menjalankan salat berjamaah. Uniknya, kedua hari raya itu memiliki waktu penyerahan zakatnya masing-masing. Seorang warga mengatakan kepada saya bahwa perayaan lebaran adat ini sudah dilakukan masyarakat adat penganut Wetu Telu sejak berabad-abad lampau. Mereka meyakini, apabila tradisi turun-temurun ini tidak dilaksanakan, akan menjadi pemaliq—petaka bagi warga. Lebaran adat ini juga disebut dengan ngiring rebak jungkat yang dalam bahasa Sasak berarti merebahkan tombak. Dari warga, saya mengetahui kata “jungkat” atau benda tajam sering dimaknai sebagai kebencian. Jadi pada saat itulah kebencian dalam diri direbahkan dan laku memaafkan ditegakkan.

Perayaan syukuran lebaran adat digelar di Kampu, sebuah lokasi yang dibatasi pagar bambu di dusun masing-masing. Kaum pria menyembelih sapi, kambing, atau ayam, hingga
menyiapkan ancak atau anyaman bambu berlapis daun pisang, sebagai tatakan hidangan. Sementara itu kaum wanita menanak nasi, memasak sayur, dan membuat jajanan dengan beras yang wajib dicuci di mata air desa. Acara mencuci beras ini disebut misoq beras. Saya mengikuti para wanita yang rapi berbaris dan berjalan beriringan dengan
bakul beras di kepala. Mereka berkain songket dan selendang, namun tetap mematuhi aturan tanpa pakaian dalam. Sebuah mata air bernama Lokoq Masan Segah, menjadi tujuan iring-iringan itu. Jaraknya hampir setengah kilometer dari lokasi perayaan syukuran lebaran adat. Mata air ini memang dikhususkan untuk mencuci beras. Bagi warga, mata air ini merupakan harta karun yang paling berharga peninggalan nenek moyang mereka. Atas alasan itulah mereka masih melestarikan dan menjaga lingkungan sekitarnya. Prasyarat untuk para pencuci berasnya adalah perempuan yang tidak sedang dalam masa haid. Selain itu, mereka berpantang untuk berbicara di sepanjang jalan, pun tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan.

Para pria membawa hidangan dalam ancak ke Masjid Bayan Beleq. Para kiai bersiap untuk mendoakan ragam hidangan itu. Setelah didoakan, ancak-ancak itu dibawa kembali ke desa. Warga bersama-sama menikmatinya di Berugak Agung Bale Beleq dan di Kampu dengan cara makan bersama-sama—begibung demikian istilah mereka. Setiap ancak dimakan bersama-sama oleh empat hingga enam orang. “Masyarakat percaya kalau menyantap makanan ancak ini, apa yang kita inginkan bisa berhasil. Karena itulah, setiap tahun ada saja orang yang datang melaksanakan Saur Sesange—membayar nazar,” tutur Nuning, tokoh masyarakat warga Dusun Karang Bajo. Malam harinya, para kiai berdoa di permakaman leluhur di sekitar masjid Bayan Beleq. Bersama mereka, saya khusyuk dalam doa hingga lewat tengah malam. Saya kagum dengan tradisi lebaran di Bayan. Mereka melestarikan tradisi lebaran adat sekuat mereka mempertahankan tradisi adat Wetu Telu lainnya—semisal Maulid Adat, Iduladha Adat, juga khitanan dan perkawinan adat. Semua merupakan bentuk penghormatan mereka bagi leluhur.

Kekukuhan mereka dalam menggenggam adat telah diganjar dengan kelestarian lingkungan. Hutan adat Mandala dan Bangket Bayan, misalnya, tetap utuh hingga kini. Mereka menjaga hutan dengan awiq-awiq atau hukum adat, mencakup pengelolaan hutan adat, serta sumber mata air di dalamnya. Di sini, tak satu pun warga boleh menebang pohon sembarangan. Bagi yang melanggar akan terkena sanksi adat, bisa berupa denda satu ekor kerbau sampai dikucilkan dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat adat. Dipilih pula pemangku hutan, penjaga dan pengatur mata air.

Islam hadir di pulau lombok sekitar abad ke-17. Kabarnya, ajaran ini dibawa oleh Wali Songo dan berkembang di pesisir utara Lombok. Salah satu jejaknya adalah Masjid Kuno Bayan Beleq. Sang raja, bergelar Datu Bayan, adalah orang pertama yang beragama Islam di Lombok. Diikuti pemangku adat dan masyarakat adat setempat. Meski telah mengucap syahadat, masyarakat Bayan tetap menganut adat Wetu Telu. “Wetu” berarti batasan wilayah, sedangkan “telu” berarti tiga. Intinya, masyarakat diwajibkan menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup melalui tiga jalan: memanak (beranak), menteluk (bertelur) dan mentiu (bertumbuh). Adat wetu telu ibarat sebuah tungku yang memasak ajaran Islam yang masuk, lalu disesuaikan dengan tradisi dan kearifan leluhur. Ada akulturasi yang menarik. Adat ini mengajarkan kita tentang hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesamanya.

Pranata sosialnya pun berkaitan dengan angka tiga. Mereka menghormati tiga unsur kepemimpinan—pemerintah, pemuka adat, dan pemuka agama. Mereka juga membagi keruangan menjadi tiga kawasan yang harus dijaga kelestariannya—wilayah gunung dan hutan untuk warga di kaki Gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk warga di dataran tengah, dan wilayah laut untuk warga pesisir.

Saya menjumpai Raden Gedarip, salah satu tokoh warga adat Bayan. Dia mengatakan, setiap Lebaran Idulfitri, masyarakat adat Bayan juga melaksanakan salat Id di masjid umum. Namun, demi alasan pelestarian adat, mereka merayakan lebaran adat. Mereka menolak pencampuradukan agama dengan adat, demikian tuturnya. “Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan” kata Raden Gedarip kepada saya. Kesalahan utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu hanya menunaikan salat tiga waktu dalam sehari. “Banyak orang mengartikan wetu sebagai waktu, padahal bukan itu, itu anggapan yang salah” lanjutnya. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini pedoman hidup, bukan agama. Agama kami ya Islam, kami Muslim, salat kami lima waktu,” tambahnya menegaskan. Selama ini, penilaian keliru tentang Wetu Telu membuat stigma penggabungan adat dan agama, yang merugikan komunitas ini. Bukan lantaran tak paham ajaran Islam, melainkan kepercayaan terhadap hal eksoterislah pendorongnya. Di saat agama dirasa kaku—karena batasan halal dan haram—maka adatlah solusinya.

Saya memang ingin berlebaran bersama mereka, merayakan Idulfitri dengan konsep menyepi. Dan, saya justru merasakan fitrahnya Idulfitri saat berlebaran adat bersama warga Bayan. Saat itu juga kata-kata Gus Dur mengitari kepala saya. “Islam datang bukan untuk mengubah budaya kita menjadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi
‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita. Kita harus serap ajarannya, bukan budayanya.”

Pernah diterbitkan di Majalah Natgeo Traveller Indonesia, edisi Agustus 2017, dan website National Geographic Indonesia.

Foto dan teks oleh Syafiudin Vifick, editor Mahandis Yoanata Thamrin.

Trash Artifacts

Trash Artifacts

“Objects are what matter. Only they carry the evidence that throughout the centuries something really happened among human beings.” (Claude Levì-Strauss)

Throughout the history of human civilization, there has always been a close connection with water. Initially, water served as a basic necessity for life, primarily for drinking. While humans can endure hunger for several days, they may face mortality within a few days without water. This is evidenced by various findings of artifacts from prehistoric times across the globe, depicting that people during that era led nomadic lives and always chose stopping points near rivers or water sources.

As the agricultural revolution began (8000-5000 BC), the nomadic lifestyle shifted to settled farming communities. This revolution marked a significant turning point in human history, enabling them to cultivate plants and animals. The development of agriculture led to the establishment of the first cities in the world. The rise of cities signified the emergence of civilizations. Looking at the world’s historical records, many ancient cities flourished on the banks of bodies of water (lakes and rivers) that could support life. The earliest civilizations appeared in Upper Mesopotamia (3500 BC), followed by the civilization along the Nile River in Egypt (3300 BC) and the Harappan civilization in the Indus Valley (present-day Pakistan). Additionally, civilizations emerged in the Yellow River Valley. Human civilization continued to evolve through religious (ancient times), modern, and contemporary eras.

The emergence of new civilizations marked an increase in the functions of water in human life. From merely serving as a drinking source, it evolved into various other functions such as agriculture, transportation, livestock, bathing, washing, and more. It can be said that human civilization emphasizes that water is the most fundamental source of life.

In the 21st century, despite its multifaceted roles as a life source, water has also caused various issues. Droughts and water crises have occurred in some parts of the world, while others have an abundance of water. Conflicts over water resources also frequently arise. The privatization and commercialization of water resources have become one of the greatest corporate crimes of this century, akin to oil and gold, particularly in developed and developing countries. Water management systems have become a priority, regulated within national legal frameworks and customary practices.”

 

Trash: The Contemporary Artifacts

Borrowing the methods of archeology, I collect items (trash) at places of waters (rivers, lakes, estuary, beaches, etc.) and document them that include the information about behavior and patterns of human life in surrounding area. Trash as artifacts has the capacity to show activities that refers to human life and their existence as objects of useful daily life.

I choose various places (upstream to downstream) that represent the condition and function of the area, and they are:

  1. Jatiluwih water spring in Tabanan

  2. Bedugul Lake, Tabanan

  3. Tegenungan Waterfall, Gianyar

  4. River in Guwang village, Gianyar

  5. River in down town Denpasar 

  6. Estuary & mangrove of Kepiting village, Badung

  7. Kedonganan beach, Badung

  8. Padang Galak beach, Denpasar

Photography is a way to view, to depict a piece of history in the past and present, not only when the photos were taken, but also when they are seen at different time. Through trash findings, I invite everyone to imagine and reconstruct the events that already had and are happening in the areas where the trash collected. We can read the behavior of the people and speculate about the problems of waste (and water) occurred. Each and every object in the photos has a close link with the events and conditions of the region. Three major things—at the least—that we can frame: water, trash, and human behavior. Furthermore, those three things are developed into wide range of issues from the past, present, and future. Pictures of trash artifacts are then become visual archives, as a document that could be studied collectively to find the story behind the objects.

 

Have a great time reading the artifacts!  


*Note: Plastic waste has become a common enemy everywhere, including in Bali. The data from Environmental Agency of Bali stated that there are, on average, 4,695 m3 of wastes daily. Other data stated up to 6,000 m3. From those numbers, plastic waste takes up about 516.45 m3 per day, or 11% of total amount.

Padoa

Padoa, tarian syukur orang Sabu. Setelah seharian shooting di Desa Adat Namata, hari ketiga di Pulau Sabu ditutup dengan mengikuti Padoa, tarian adat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Syair yang dilantunkan oleh Mone Pejo (pemimpin tarian) berisi puja dan puji kepada Sang Pencipta Alam Semesta dan Para Leluhur yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran serta kelimpahan sehingga mereka telah panen hasil tanamannya, baik kacang hijau, jagung, sorgum serta padi. Tarian Padoa ditarikan dengan bentuk formasi melingkar dan saling bergandeng tangan antara satu penari dengan penari lainnya, sehingga sering disebut sebagai simbol kebersamaan dan persahabatan. Yang menjadi inti dalam tarian tersebut adalah gerakan kaki menghentak sebagai musik pengiring yang mengikuti lantunan syair-syair oleh Mone Pejo. Kaki-kaki mereka dipasang seperti ketupat besar yang dibuat dari daun lontar, diisi dengan kacang hijau dan beras. Tarian Padoa ini diadakan semalaman di belakang Gereja Immanuel, Raedewa, Sabu Barat. 17 April 2023.

Malam itu, semua orang berbahagia…

© 2023  photo & text by @vifickbolang